ISLAM LIBERAL

Senin, 15 Februari 2010


Islam Liberal ---- Prospek dan Tantangannya

Ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan (contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan dengan kezaliman, seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau definisi yang diberikan Francis Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai sopan-santun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki."

Tema-tema di atas berlanjut hingga hari ini, sebagaimana persepsi Barat tentang Islam yang diidentifikasikan sebagai imaginasi-imaginasi terorisme, dan gambaran teokrasi yang menakutkan. Revolusi Iran pada tahun 1979 dan kebangkitan radikalisme Islam dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara menambah kesan adanya perang dingin yang terlihat. Juga dalam dunia akademik, umat Islam dianggap mencurahkan perhatian kepada pemahaman keagamaan yang radikal. Hal itu terlihat pada karya-karya akademik dengan judul yang meresahkan, seperti; Islam Radikal (Radical Islam), Islam Militan (Militant Islam), dan Jihad (Sacred Rage).

Memang sebagian Muslim sepakat dengan para orientalis Barat bahwa Islam belum diberi kesempatan untuk berubah. Itulah yang menyebabkan umat Islam dihadapkan pada sebuah tantangan untuk memberikan tafsir kontekstual terhadap berbagai persoalan. Namun, wacana tafsir kontekstual itu masih menjadi perdebatan yang seru dikalangan umat Islam. Seorang Muslim Pakistan, misalnya, pernah menulis: "Orang yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam itu pasti akan gagal ... Mengapa Islam harus dimodernkan? Bukankah kemodernan Islam telah selesai, murni sempurna, universal, serta berlaku setiap waktu?"

Dalam kajian historis, di kalangan umat Islam memang terdapat pemahaman-pemahaman yang beraneka ragam. Di antara variasi pemahaman itu adalah adanya sebuah tradisi yang disuarakan dengan konsisten sehingga paralel dengan liberalisme di dunia Barat. Para penerjemah tradisi ini mengekspresikan kejengkelannya, karena posisi mereka pada umumnya "masih diacuhkan" oleh para sarjana dan media massa Barat yang lebih tertarik pada sensasionalisme wacana kaum ekstrimis-fundamentalis.

Fokus dari tradisi yang terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena membahas mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia Islam dewasa ini. Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan dipengaruhi cara pandang orientalisme. Sebenarnya tradisi--yang disebut sebagai Islam Liberal--ini sangat menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal" yaitu: (1). melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2). mendukung gagasan demokrasi; (3). membela hak-hak perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.

Sebenarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17.

Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).

Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-ketegangan pilihan ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu "jalan tengah", yaitu suatu sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma' (konsensus) hanya ada dan terjadi pada masa sahabat--oleh karena kesetiaan mreka kepada apa yang dikatakannya dan diperbuatnya--, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas masalah-masalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan liberalis, juga revivalis dan neo-fundamentalis.

Usaha Ibn Taymiyah pun dilanjutkan oleh Ibn Khaldun (1332-1406). Dialah yang merintis sosiologi Islam. Berdasarkan praktek-praktek politik studi historiografinya, Ibn Khaldun--sebagai seorang pengembara dan pengabdi dari banyak kerajaan Islam waktu itu yang terpecah-pecah--, percaya sepenuhnya kepada pemikiran politik Ibn Taymiyah, terutama tentang pentingnya kesejahteraan umum (common goods) dan hukum ilahiyah demi menjaga kestabilan dan kesejahteraan negara, yang kemudian diperluasnya dengan teori tentang "solidaritas alamiah" (ashabiyah) dan etika kekuasaan. Sejak Ibn Khaldun ini, pemikiran Islam mengenai sosiologi politik mendapatkan tempat dalam keseluruhan refleksi Islam dan perubahan sosial. Oleh karena itu, penafsiran kembali Islam (ijtihad) menjadi suatu keharusan mutlak dalam masa perubahan politik.

Sebenarnya, liberalisme Islam mendapatkan momentum secara politis lebih mendalam pada saat kesultanan Ottoman di Turki, yang oleh segelintir cendekiawan di Konstantinopel dirasakan sebagai ketinggalan zaman, terlalu kaku, dan terlalu religius. Diantara tokoh-tokoh cendekiawan itu adalah Sinasi, Ziya Pasha dan Namik Kemal. Di Mesir, juga ada tokoh-tokoh sekaliber di Turki yang liberal, seperti Rifa' Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), Khayr al-Din Pasha (1810-18819), dan Butrus al-Bustam (1819-1883). Mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, yang ringkasnya adalah: Bagaimana masyarakat yang baik itu? Bagaimana bisa mengetahui bahwa (masyarakat) itu baik atau ideal? Norma-norma apa yang sebaiknya membimbing suatu pembaruan sosial? Dari mana norma-norma itu harus dicari? Bolehkah dari Islam ataukah justru dari Barat? Lantas, antara Islam dan Barat, apakah tidak ada pertentangan?

Menurut mereka, 'ulama harus dilibatkan dalam pemerintahan, tetapi untuk itu, 'ulama harus terlebih dulu diberikan pendidikan modern yang memadai, agar mereka dapat melihat situasi dan kebutuhan masyarakat modern sekarang ini. Dari para 'ulama itu, dituntut pengetahuan tentang apa itu dunia modern dan problematikanya, supaya tidak terkurung hanya dalam ajaran-ajaran tradisional. Sementara itu, syari'ah juga harus disesuaikan dengan situasi baru. Antara syari'ah (hukum Islam) dan hukum alam (ilmu pengetahuan) yang dikembangkan di Eropa dianggap tidak banyak perbedaannya secara prinsipil. Karena itu, pendidikan modern adalah suatu keharusan untuk umat Islam. Juga untuk "memperbaharui" syari'ah itu.

Demikianlah, sampai sebelum Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad 'Abduh dan Muhammad Rasyd Ridla (1865-1935), kesadaran bahwa Islam itu--maksudnya tentu saja pemahaman kaum Muslim terhadap Islam--harus "dimodernkan" atau "dirasionalkan" sudah menjadi kesadaran umum para cendekiawan Muslim. Dan ini telah menimbulkan gerakan yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai "gerakan modernisme awal." Oleh karena itu pula, Tahtawi dan seluruh kawan-kawannya yang sezaman, telah melihat bahwa Eropa adalah sumber ide dan penemuan yang tak terelakkan. Maka, Islah harus belajar dari Barat!

Memang, mereka pun menyadari bahaya yang bisa muncul dari proses "pembaratan" ini. Tetapi, mereka juga yakin bahwa kekuatan gagasan yang progresif dari Barat itu, juga akan mampu mengatasi masalah yang akan muncul. Apalagi, bertepatan dengan munculnya gagasan-gagasan itu, secara politis Ottoman mengalami kemunduran.

Selanjutnya, masalah menjadi lain ketika Afghani, 'Abduh dan Rasyd Ridha hidup. Masalah yang dihadapi mereka adalah imperialisme Eropa. Kerajaan Ottoman dalam tahun 1875-1878, telah kemasukan kekuatan militer Eropa. Tahun 1881, Tunisia diduduki Perancis dan tahun 1882, Mesir pun jatuh ke tangan Inggris. Dan pada tahun-tahun ini pula, semua dunia Islam berada dalam genggaman kolonialisme Eropa, termasuk Indonesia. Sehingga, secara politis keadaan sudah berubah. Maka melihat fenomena Barat-Modern tanpa kritisisme pun menjadi naif. Melalui mereka, muncullah gagasan pan-Islamisme yang mau melawan kolonialisme Barat. Dalam diri mereka, sudah timbul suatu kesadaran bahwa Barat yang modern itu ternyata juga mempunyai sisi destruktif, yakni imperialisme yang menghancurkan kebudayaan Islam baik secara sosial-budaya maupun politis. Timbullah kesadaran bahwa yang modern bukan hanya Barat, tetapi bisa juga Islam. Karena itu pemikiran dan gerakan modernisme awal ini, nantinya mendorong munculnya gerakan-gerakan neo-revivalisme, yang terutama dipimpin oleh Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, dan Abu 'Al al-Mawdudi, yang nanti akan "dicap" sebagai akar fundamentalisme Islam kontemporer.

Pada masa-masa ini, gagasan romantisme kejayaan Islam muncul sebagai motivasi melawan penjajahan. Inilah dorongan paling besar yang merefleksikan kembali arti peradaban Islam di dunia modern, di tengah-tengah hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus menjadi momentum pemikiran Islam paska kolonialisme. Dari sini, mulailah dilakukan refleksi atas munculnya peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia Islam. Nantinya, sebagai "puncak" pemikiran modernis ini, sangat relevan memberi perhatian atas kajian-kajian ekonomi-politik atas apa yang menjadi pendorong imperialisme Barat terhadap dunia Islam. Pemikir-pemikir Muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syari'ati, Zia-ul Haq, dan kalangan-kalangan transformis lainnya yang menaruh perhatian pada gagasan pembebasan, layak juga diperhatikan.

Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam, khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal: Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan non-Muslim

Penggugur Hak Waris

Pembagian Waris Menurut Islam

Hal-hal yang menggugurkan Hak Waris

Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:

1. Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.

2. Pembunuhan

Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "

Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya."

Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.

Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.

Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.

3. Perbedaan Agama

Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)

Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).

Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.

Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?

Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.

Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.

Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub

Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.

Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.

Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.

Contoh Pertama

Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah

Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.

Contoh Kedua

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.

MANUSIA MEMBENCI PADA 2 HAL

Semua manusia benci pada mati padahal mati lebih baik daripada hidup penuh dengan fitnah. manusia benci kepada kemiskinan padahal kemiskinan lebih baik daripada kaya penuh dengan noda. sebab orang yang miskin lebih sedikit waktu di hisab dibanding orang kaya, sedangkan orang kaya lebih banyak waktu di hisabnya, sehingga kita jangan terlalu tergiur oleh kemewahan dunia, tapi kita harus ingat kepada kematian.

 
 
 
 
Copyright © PESAN DAKWAH